ARAL LINTANG
PERJALANAN
Oleh : Arief
Rahman Hakim
Detik
demi detik berhamburan membayangi fikiranku. Seperti itulah yang kurasakan
berminggu-minggu sebelum UN SMA sederajat dilaksanakan. Yupz, meskipun sudah
belajar tiga tahun semua pasti akan “dag-dig-dug der” jika sudah berhadapan
dengan yang namanya Ujian Nasional.
Teringat
dikala aku masih duduk di bangku kelas X, bandelnya minta ampun. Dari yg
berangkat sering telat dikunciin gerbangnya, hingga nekat manjat pagar pun
sudah barang wajib bagiku tiap minggu. Sampai pada pertengahan kelas XI pernah
sering bolos masuk sekolah cuma buat nongkrong di warung.
Akhirnya
awal kelas XII pun diriku mulai merasakan buah dari kesalahan yang aku lakukan.
Materiku pelajaranku sangat tertinggal banyak. Hingga akhirnya papa memanggilku
sewaktu pulang sekolah, “Kimi, bisa ikut papa sebentar?” kata papaku dengan
senyum hangatnya. Iya papaku adalah seorang yang kalem, yang tidak pernah mau
bertindak kasar kepada siapapun selagi belum terlewat batas dan masih bisa
ditolerir.
“Iya
pa, ini mau nyopot sepatu dulu” balasku.
“Habis
ini kamu mandi, sembahyang setelah itu ikut papa.” Timpal papaku sambil membuka
pintu mobil.
Jarang-jarang
papa ngajak aku jalan naek mobil berdua. Apa papa punya kejutan ya buat aku.
Pikirku senang sekali. Akupun bertanya“Mau kemana pa? kok tiba-tiba papa
ngajakin Kimi naik mobil?”
“Udah
kamu laksanain dulu yg papa perintahkan tadi, penting pokoknya. Eh jangan lupa
pake pakaian yang rapi dan semodis mungkin menurut kamu, tapi sopan ya.” Tambah
papaku.
Akupun
jadi tambah girang, meskipun tetap hatiku bertanya-tanya.
Singkat
cerita akhirnya ku berangkat bersama papaku naek mobil, diajak mengelilingi
keindahan kota Dalempuran salah satu kota administratif di provinsi Jawa
Tenggara. Papa mengajak aku berkeliling mulai dari kantor-kantor birokrasi di
kotaku, temapt-tempat peribadatan, perumahan-perumahan elit, perkampungan kumuh.
Setiap
di salah satu tempat tersebut ayahku menghentikan laju kendaraannya dan
memintaku untuk membayangkan jika suatu saat nanti aku berada ditempat itu. Aku
belum tahu maksud papaku sebenarnya apa, tapi aku ikutin aja perintahnya.
Aku
membayangkan jika diriku menjadi seorang birokrat, dengan kekuasaan dan jaminan
hidup serta pensiunku nanti bisa nyaman. Namun aku berfikir “Apa aku bisa jadi
orang pintar yang mengisi kantor-kantor birokrasi, sedangkan aku sekolah saja
malas-malasan kaya gini?”
Setelah
dari salah satu kantor birokrasi tersebut, papa mengajakku jalan lagi hingga
akhirnya berhenti di salah satu tempat peribadatan di kotaku. “Bayangkan jika
kamu menjadi mereka, taat beribadah dan tidak mementingkan urusan dunia.” Suruh
ayahku setelah memberhentikan mobilnya ditepi jalan dekat tempat peribadatan.
“Aku
aja orangnya urakan kaya gini, masa bisa jadi orang yang taat ibadah?” fikirku.
Akhirnya
kubayangkan saja diriku menjadi orang yang taat beribadah. Setiap hariku berisi
kebaikan dengan sesama dan ketaatan dengan Sang Pencipta. Tanpa terbebani
fikiran duniawi. Tak suka foya-foya, keluar malam buat clubbing,
menghambur-hamburkan uang. Rasanya nyaman, namun penuh penderitaan bagiku yang
harus meninggalkan semua kenikmatan dunia. “Nyaman sih emang di hati, tapi apa
aku kuat tuk jadi seperti mereka?”
Setelah
berhenti sejenak beberapa menit itu, papa kembali tancap gas mengajakku sampai
ujung kota Dalempuran yang terhitung tidak terlalu besar. Papa mengantarkan aku
ke perumahan elit yang bersandingan tepat dengan perumahan kumuh. Tanpa papa
perintah, hatiku bergetar miris melihat perbedaan sosial yang terjadi. Seakan
tanpa memandang bahkan tak mau melihat perkampungan kumuh it, perumahan elit
tersebut memiliki pagar seperti benteng kerajaan yang memisahkan antara si kaya
dan si miskin.
Tak
ku sadari air mataku berlinang melihat kenyataan sosial saat ini, dan menyadari
kesalahanku selama ini yang menyia-nyiakan fasilitas dari papaku dan waktu 2
tahun yang aku jalani dengan penuh kerugian.
Akhirnya
papa melanjutkan perjalanan dan menuju ke bukit Pameling Gusti, yang memang
titik paling bagus di kotaku. Papa memarkirkan mobilnya di ujung tebing, keluar
dari mobil dan duduk di ujung tebing bukit pameling. Akupun mengikuti papa dan
duduk di samping beliau. “Bagaimana Mi? Apa yang kamu rasakan dari perjalanan
tadi?” tanya papaku dengan santai.
“Iya
pa, aku baru menyadari semua yang aku lakuin selama ini ternyata salah besar
pa. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tak memikirkan kelak aku mau jadi apa
dan apa yang aku pikirkan selama ini ternyata tak ada gunanya.” Sesalku berurai
tangisku.
“Papa
tak mau memaksa anak papa, kamu tau itu kan Kimi? Papa dan mama selalu dan
tetap berdo’a untuk kamu agar kamu bisa menyadari diri sendiri. Koreksi
pribadimu sendiri tanpa ada paksaan” ucap ayahku penuh perhatian dan wibawanya.
Singkat
cerita, akhirnya aku pun bertekad agar tak mengulangi lagi kesalahanku. Papa
mengikutkanku bimbel persiapan UN dan selalu mengingatkanku bahwa “Pendidikan
adalah segalanya. Jangan sia-siakan masa belajarmu hanya untuk hura-hura”
kata-kata itu selalu teringat di lubuk hatiku dan harus selalu bisa aku
praktekkan dimanapun dan kapanpun itu.
Hingga
waktu pengumuman UN tiba, aku harap-harap cemas jika aku tidak lulus dengan
nilai yang sangat teramat buruk. Pukulan keras bagiku namun memang pantas
buatku aku menyadari semua itu.
Amplop
berisikan hasil akhir aku terima, dengan berbagai macam do’a kupersiapkan
sebelum kurobek ujung amplop tersebut. Aku terduduk menangis, ku bersujud
menghadap Sang Pencipta bersyukur atas kelulusan yang aku dapatkan. Dengan
nilai yang lumayan baik, aku bangga karena semua itu murni hasil kerja kerasku
dari kesadaranku.
Sejak
saat itu aku selalu mengingat bahwa setiap orang pasti bisa berubah, dari yang
buruk menjadi yang baik, dari yang baik menjadi buruk. Tergantung kemauan dan
tekad tiap orang tersebut.
-= Selesai =-